Menguji Kelas Akselerasi Antara Prestasi dan Biaya Tinggi

Menguji Kelas Akselerasi Antara Prestasi dan Biaya Tinggi
Posted by admin on May 18th, 2010

Suara Merdeka – PENDIDIKAN berperan penting dalam memajukan bangsa. Memberi kesempatan kepada masyarakat yang berhak mendapatkan pendidikan merupakan tugas negara, termasuk bagi mereka yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa melalui pendidikan khusus.

Kelas akselerasi (aksel) merupakan wadah pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki potensi dan keunggulan dalam kecakapan, minat, dan bakat. Keistimewaan program akselerasi memang tidak bisa diremehkan. Salah satu program pendidikan luar biasa (PLB) ini diisi anak-anak yang memiliki IQ di atas 125.

Jika lazimnya siswa memerlukan waktu tiga tahun untuk lulus, di kelas akselerasi cukup dua tahun. Walau demikian, prestasi gemilang tetap bisa diraih siswa percepatan tersebut, bahkan melebihi siswa reguler atau rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

Misalnya di SMAN 3 Surakarta yang baru meluluskan 42 siswa program akselerasi pada tahun ajaran ini. Pada angkatan keenam, sekolah yang kali pertama mendirikan program akselerasi di Solo ini berhasil meluluskan 100 persen siswanya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dengan rata-rata nilai 48,38, program yang dimanajeri Koesmanto SPd MPd ini berhasil mengungguli hasil UN kelas reguler dan RSBI. Bahkan, belum lama kelulusan diumumkan, 27 siswa diterima di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta bergengsi di seluruh Indonesia. Sementara, 15 siswa lainnya tengah menunggu.

”Banyak siswa yang diterima di dua perguruan tinggi. Bahkan ada yang diterima di tiga sampai empat kampus, sebab ikut mendaftar kuliah di luar negeri. Hampir seluruh siswa melanjutkan ke perguruan tinggi. Hanya satu siswa angkatan pertama yang langsung bekerja karena faktor keluarga,” jelas Koesmanto.
Dia menjelaskan, input siswa memang sudah bagus. Mereka yang masuk kelas akselerasi adalah anak-anak pilihan. Selain IQ di atas rata-rata, mereka harus memiliki nilai rapor dengan nilai rata-rata minimal 8,00 dan lolos tes kemampuan akademik.

Tak cukup itu, setelah masuk nominasi melalui seleksi administrasi, masih ada serangkaian tes lainnya, antara lain tes penilaian guru, orang tua, atau konselor yang lebih memahami secara pasti bakatnya.
Input yang bagus ini kemudian dikolaborasikan dengan tim pengajar dan fasilitas khusus. Alhasil, kualitas output tak diragukan lagi. Padahal, tidak banyak perbedaan perlakuan dalam persiapan UN.

”Guru pengajar di kelas akselerasi juga harus menjalani seleksi. IQ paling tidak 130, juga harus dites kemampuan akademis. Tak lupa harus berwawasan luas, kreatif, inovatif, dan berkomitmen tinggi,” jelasnya.
Di SMAN 1 Surakarta, menurut Marwanta, kepala program akselerasi sekolah itu, pihaknya sering berkoordinasi dengan Universitas Sebelas Maret (UNS), khususnya Fakultas MIPA dan Kedokteran, untuk membimbing guru akselerasi.

”Kami sudah menjalin kerja sama dengan UNS untuk beberapa pendukung program akselerasi, misalnya dalam penyusunan kurikulum,” paparnya seraya menyebut 50 persen siswa sudah terdaftar di perguruan tinggi terkenal baik swasta maupun negeri.

Hanya saja, Koesmanto merasa lebih baik jika materi UN antara siswa akselerasi dan reguler dibedakan. Sebab, subjek yang diuji juga memiliki kemampuan berbeda. Siswa akselerasi masuk pada pendidikan luar biasa, sementara siswa reguler digolongkan dalam pendidikan formal.

Kondisi tak jauh beda terlihat di kelas akselerasi SMPN 2 Surakarta. Ketua Program Kelas Akselerasi SMP Negeri 2 Surakarta, Agus Budiarto SPd mengatakan bahwa dalam UN lalu 44 siswa akselerasi lulus dengan hasil memuaskan.

”Rata-rata nilai kelulusan sekitar 80-an untuk siswa akselerasi dan 70-an untuk siswa reguler,” kata Agus. Bahkan beberapa siswa diterima di SMA unggulan.

”Minimal lulusan program akselerasi melanjutkan ke SMA Negeri 1 atau SMAN 3,” tambahnya.
Karena akselerasi adalah program yang ditujukan untuk mengembangkan siswa yang ”lebih” dibanding siswa lainnya, maka pihak sekolah pun mempersiapkan beberapa sarana dan prasarana guna menunjang keefektifan kegiatan belajar.

”Kami memberikan beberapa sarana pendukung seperti AC, komputer, dan internet. Selain itu, kami juga mengadakan seleksi untuk guru yang bakal mengajar di program ini,” kata Agus. IQ 110 dan jenjang pendidikan strata-1 adalah syarat minimal bagi para pengajar siswa akselerasi.

Sementara itu, Kepala SMPN 9 Surakarta Drs Heru Prayitno MOr mengatakan, anak-anak siswa akselerasi memang digolongkan dalam cerdas istimewa berbakat istimewa (CIBI). Karena itu, dalam waktu dua tahun, siswa bisa memahami materi yang seharusnya disampaikan dalam tiga tahun.

Khusus untuk tahun ini, persiapan ujian bahkan dilakukan dalam waktu yang amat singkat. Seperti diketahui, pemerintah memutuskan memajukan jadwal UN menjadi bulan Maret. Praktis, waktu belajar efektif siswa hanya menjadi 1,5 tahun.

Pihaknya lantas merancang jadwal ulang agar siswa tetap berhasil. Misalnya dengan menambah jam pelajaran. Kemudian ada bimbingan khusus yang dinamakan ”Bina Prestasi” dan ”Klinik Belajar”. Bimbingan ini dilakukan baik pada jam ke-nol maupun usai sekolah.

”Secara sikap, siswa juga memiliki perbedaan dengan siswa reguler. Mereka lebih aktif baik di kelas maupun di luar kelas. Karena itu, jika guru tidak bisa mengimbanginya, proses pembelajaran tidak optimal,” imbuh dia.

Dari sisi dana, perbedaan fasilitas yang diterima oleh siswa akselerasi membuat pihak sekolah mengenakan biaya yang lebih tinggi jika dibanding siswa reguler. Jika di SMA Negeri 1 Surakarta siswa reguler dikenakan Rp 200 ribu tiap bulan, maka siswa akselerasi harus membayar uang sekolah Rp 350 ribu.

Namun menurut Marwanta, biaya bulanan program akselerasi tersebut jika ditotal masih relatif lebih murah jika dibanding kelas reguler. ”Kalau dihitung, siswa akselerasi hanya membayar selama dua tahun, sedangkan siswa reguler membayar uang sekolah selama tiga tahun,” katanya.

Tanpa menyebut jumlah, Agus Budiarto berpendapat senada. ”Pelaksanaan program akselerasi memang memerlukan dana yang lebih besar jika dibanding kelas reguler. Namun kami tetap fleksibel dalam hal pendanaan karena yang terpenting siswa yang diterima di kelas akselerasi dapat tetap mengikuti kegiatan belajar,” jelas dia.

Agus menambahkan bahwa sejak dinyatakan lulus tes, orang tua siswa akselerasi di SMP Negeri 2 diberi dua alternatif untuk membiayai pendidikan putra-putrinya.
”Kalau tidak bisa dibagi rata, ya kami berikan formulir untuk mengetahui seberapa besar kemampuan orang tua siswa”.

Namun, lanjutnya, tidak tertutup kemungkinan siswa yang benar-benar tidak mampu akan dibebaskan dari seluruh biaya.
”Asalkan ada surat keterangan tidak mampu dari kelurahan atau kecamatan,” kata Agus.

Di Semarang

Kondisi tak jauh beda terjadi di beberapa sekolah yang menerapkan program itu di Semarang. Di SMPN 2 Semarang yang membuka kelas aksel sejak 9 tahun lalu, misalnya.

Meskipun jumlahnya sedikit, kualitas siswa akselerasi di sekolah itu tidak kalah dengan siswa reguler. Kepala SMPN 2 Semarang Sutomo menyampaikan, pada UN 2010 meski peringkat tertinggi diraih siswa reguler, tapi rata-rata kelas aksel tetap baik.

Setiap tahun peminat siswa kelas aksel di sekolah itu tidak tentu, antara 30-50 per tahun ajaran baru. Tapi melalui tes potensi Wechsler hanya 14-20 siswa yang dapat masuk ke kelas tersebut.
Sutomo mengatakan, pada prinsipnya tidak ada yang berbeda antara kelas aksel dan reguler karena jam kegiatan belajar mengajar dan fasilitas pun sama. Namun karena kelas aksel merupakan kelas ekspres, maka dalam penyampaian pelajaran hanya berbeda esensinya.

’’Mengenai biaya, siswa kelas aksel dua kali lipat reguler, tapi itu sudah termasuk biaya lainnya jika ada kegiatan di luar sekolah seperti piknik dan outbound yang selalu dilakukan kelas aksel setiap libur semester. Namun bagi siswa aksel yang tidak mampu ataupun anak yatim piatu, kami membebaskan biaya sekolah,’’ ungkapnya.

Sementara itu, di SMAN 3 Semarang kelas akselerasi dimulai pada tahun ajaran 2002/2003, kemudian sempat berhenti setahun karena pada saat itu menggunakan kurikulum KTSP dan akhirnya dilanjutkan kembali di tahun 2004/2005 hingga sekarang.

Menurut Kepala SMAN 3 Semarang, Hari Waluyo, tidak ada diskriminasi antara siswa kelas aksel dan kelas reguler/RSBI, karena kegiatan sekolah yang mereka ikuti juga sama, termasuk lama jam belajar.
Bedanya, peserta kelas akselerasi mendapat program pendampingan dari MIPA Undip dan Psikologi Unika guna meningkatkan proses pembelajaran. Peminat program ini setiap tahun juga tetap banyak, 40-60 pendaftar, meskipun yang diambil maksimal 20 siswa. Hasilnya pun bagus, setiap tahun lulusan selalu diterima di PTN favorit.

Demikian pula di SMP PL Domenico Savio Semarang, yang memulai program sejak tahun 2002. Menurut Humas SMP PL Domenico Savio Anna Murtirahari SPd, secara umum prestasi siswa aksel dalam UN SMP di sekolah Pangudi Luhur tersebut juga terus meningkat. Dalam beberapa angkatan, sering terjadi sekitar 15 orang siswa aksel pasti selalu masuk peringkat 20 besar kelulusan di sekolah itu.

’’Tahun ini memang ada juga siswa aksel ada di peringkat atas, atau di tengah-tengah. Tapi ada juga siswa reguler yang peringkat UN-nya hampir sama dengan siswa aksel. Itu semua bisa disebabkan berbagai hal,’’ jelas Anna.

Namun yang jelas, banyak prestasi yang sudah ditelurkan. Lulusan aksel angkatan pertama dan kedua misalnya, banyak yang sudah masuk perguruan tinggi favorit. Jurusannya pun memiliki standar tinggi seperti kedokteran.

’’Kesempatan beasiswa dari Raffles Institution dan Raffles Girls School di Singapura yang terkenal itu setiap tahun pasti ada. Dalam beberapa kali kesempatan diraih oleh siswa aksel kami,’’ imbuhnya.

Proaktif

Bagaimana siswa aksel menjalani program percepatan itu? Mereka memang dituntut proaktif untuk menyelesaikan masa studinya yang lebih singkat. Pengajar hanya memberikan intisari dari setiap pelajaran yang diajarkan, untuk kemudian dipelajari secara mandiri oleh para siswa.

Herliena Dyah Indriani, salah satu lulusan program akselerasi SMA Negeri 1 Surakarta, menceritakan bahwa metode belajar mandiri yang harus dilakukannya ternyata tidak membuatnya kesulitan.
”Awalnya memang agak kaget karena beda banget dengan cara belajar waktu SMP. Tapi kemudian dibawa optimistis saja,” kata Herliena.

Menurutnya, dukungan dari orang tua sangat membantunya menyelesaikan pendidikan.
”Fasilitas di rumah sudah ada. Tinggal bagaimana mengatur waktu saja,” tambahnya.
Gadis yang baru saja diterima di Fakultas Kedokteran Gigi UGM ini mengatakan, ia tidak merasa kehilangan banyak waktu luang karena pada dasarnya dirinya memang senang belajar.

”Paling kalau Sabtu sampai Minggu baru jalan-jalan keluar sama teman-teman,” kata dia.
Ibu Herliena, Niek Hanifah SH juga mengakui bahwa ia tidak memberikan perhatian khusus kepada putri tunggalnya karena pada dasarnya sang anak sudah terbiasa memprioritaskan pendidikannya.
”Paling hanya sedikit mengingatkan waktu menjelang UN kemarin,” katanya.

Saat ditanya tentang persiapan menghadapi UN, Herliena mengaku tidak ada hal khusus. Dia tidak banyak kesulitan karena sejak kelas 3 semester 1 telah mengikuti bimbingan belajar di salah satu lembaga pendidikan.

”Tiga kali dalam seminggu Herliena mengikuti bimbingan belajar sampai satu hari sebelum UN,” ujar Niek sambil menambahkan, selama putrinya menjadi siswa akselerasi di SMA Negeri 1, dirinya tidak mengalami perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan orang tua siswa reguler. Pihak sekolah selalu memperlakukan setiap orang tua dalam porsi yang setara.

Dua siswa aksel 1 SMPN 2 Semarang , Chintya Jasmine (12) dan Nadya Devindra (13), mengaku tidak terbebani saat menjalani kelas khusus tersebut.

’’Awalnya saya berpikir bahwa duduk di bangku akselerasi pasti akan berat dan tidak dapat bermain karena harus terus belajar, tapi nyatanya tidak. Sebab, orang tua, sekolah, dan kakak kelas selalu memberikan gambaran dan motivasi kalau kelas ini tidak seberat itu, ’’ ungkap Chintya.

Nadya mengaku, alasannya memilih kelas akselerasi sebab dia bercita-cita ingin cepat lulus kuliah sebelum orang tuanya pensiun. Awalnya memang terbebani karena dalam dua minggu sekali ada ulangan harian, tapi semua dapat teratasi karena jadwalnya terprogram. .

’’Setiap pulang sekolah kami biasa bermain dulu di kelas bersama teman-teman baik nonton televisi, internetan, atau jalan-jalan. Semua itu adalah hiburan bagi anak aksel, bahkan kami pun masih sempat mengikuti ekstrakurikuler gamelan dan seni baca Alquran,’’ tuturnya.

Hal senada diutarakan siswa kelas akselerasi XI SMAN 3 Semarang, Ajrina Luthfita (15). Dia mengatakan, belajar di kelas aksel bukanlah beban, tapi tempaan yang membuat mental lebih kuat. Kesulitan memang dirasakan pada awal semester, ketika dia merasa tertekan saat ulangan yang belum waktunya. Apalagi materi yang diajarkan juga lebih banyak dan harus dipelajari sendiri. Sehingga untuk menyikapinya dia harus menambah jam belajarnya dengan mengikuti bimbingan belajar dan lebih memperhatikan guru dalam memberikan materi pelajaran di kelas.

Menurut Ketua Asosiasi Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI) Jawa Tengah, FA Sugimin, di Provinsi Jawa Tengah terdapat 37 sekolah dari jenjang SD, SMP, SMA yang memiliki kelas/program akselerasi yang terdiri atas 8 SD, 15 SMP, dan 14 SMA yang terdapat di 12 kabupaten/kota.

Menurutnya, kelebihan program itu adalah dari segi output nilainya lebih baik dan lulusannya selalu diterima di PTN favorit, proses dan semangat belajar di kelas juga lebih efektif. Kelemahannya, anak aksel lebih cenderung individualistis, sehingga pihak sekolah harus mengikutsertakan mereka dalam kegiatan yang sama dengan kelas lainnya agar tidak merasa eksklusif.

Sumber: http://lccuniverse.com/2010/05/18/menguji-kelas-akselerasi-antara-prestasi-dan-biaya-tinggi/