Merajut Asa di Akhir Usia


Merajut Asa di Akhir Usia
Langkahnya semakin rapuh. Tertatih menuntun sepeda warna biru kusam. Sejatinya lelaki itu tidak mampu lagi mengayuh sepeda. Sepeda itu dituntunnya sekaligus sebagai tongkat baginya untuk melangkah. Tubuh ringkihnya sesekali terguncang hebat ketika batuk menyerangnya. Usianya sebenarnya belum terlalu tua, baru sekitar lima puluh tahunan. Lelaki itu menyandarkan sepedanya ketika tiba di tepi jalan raya. Ia menunggu seseorang. Istrinya. Ya, istrinya yang setiap pagi berbelanja sayuran di pasar. Kemudian belanjaan itu akan dibawa keliling kampung untuk dijajakan.
Wajah kusam dan keriput itu masih menyimpan asa. Satu tekadnya. Ia ingin agar putra-putrinya berhasil menyelesaikan sekolahnya. Saat ini putranya baru saja lulus STM swasta dan putrinya baru kelas 9 SMP. Tapi tenaganya tidak mampu lagi untuk bekerja keras seperti dulu. Apalagi biaya sekolah saat ini sangat mahal.
Lelaki itu berusaha menahan perasaannya. Pantang baginya menangis. Ia seorang pekerja keras. Sebentar lagi istrinya pasti tiba. Ya, benar saja. Tak berapa lama kemudian ada angkot yang yang berhenti di dekatnya menunggu. Dan turunlah perempuan kurus berkerudung lusuh membawa tas plastik besar warna merah.
“Istriku, mana daganganmu yang lain?” tanya lelaki itu sambil membawakan bawaan istrinya dan meletakkan di boncengan sepeda.
“Maaf, pak. Hari ini aku hanya bisa membeli sedikit sayuran. Uang kita semakin habis karena banyak pembeli yang menghutang,” perempuan itu mengusap keningnya dengan ujung kerudungnya.
Begitulah adanya. Meskipun sudah membawa dagangannya keliling kampung dengan susah payah tapi tetap saja ada yang menghutang. Maklumlah, tempatnya berjualan keliling adalah kampung kecil yang sebagian besar penduduknya buruh tani dan buruh karyawan di perkebunan kopi. Mereka akan membayar hutang-hutang itu ketika gajian. Biasanya tanggal satu dan tanggal lima belas setiap bulannya.
Mereka berdua beriringan menuju ke rumah untuk menata dagangan hari ini. Rumah berdinding bambu yang terletak di bawah jalan karena untuk memasukinya harus menuruni undakan. Rumah itu tidak terlihat dari jalan meski jarak rumah dengan jalan hanya 5 meter. Dari jalan rumah itu hanya terlihat cungkupnya saja. Badan rumah seolah tertelan bumi. Kursi panjang tua di teras akan menyambut siapa saja yang bertandang. Ada jendela terbuka. Di antara jendela itu bergelantungan beraneka makanan kecil berbungkus plastik, dan aneka kebutuhan sehari-hari lainnya. Itulah sisa dagangan kemarin.
“Bu, aku minta maaf belum bisa membahagiakanmu,” lirih suara lelaki itu.
“Sudahlah, pak. Aku sudah cukup bahagia bisa membantu meringankan beban keluarga ini,” perempuan itu menjawab sambil menata sayuran.
Laki-laki itu ragu-ragu ketika akan mengatakan sesuatu kepada istrinya. Tetapi ia harus mengatakannya. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat agar istrinya bisa memahaminya.
“Bu, sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya memikirkan kedua anak kita,” akhirnya ia memberanikan diri.
“Memangnya kenapa pak? Bukankah kita setiap hari sudah seperti ini dan ndak ada masalah,” istrinya mendekat dan memperhatikan suaminya yang tertunduk.
“Untuk makan sehari-hari sudah cukup dari penghasilanku berdagang sayur keliling kampung. Sedang untuk biaya sekolah anak-anak juga sudah cukup dari gaji bapak menjadi penjaga ratel (radio telekomunikasi) dan hansip di kantor kecamatan,” perempuan itu semakin trenyuh menyaksikan suaminya.
“Itulah masalahnya, bu,” tak sanggup ia meneruskan kalimatnya.
“Memangnya ada apa, pak?”
“Ah, maafkan suamimu ini, bu. Karena kondisi kesehatanku yang semakin memburuk sejak terkena batuk, maka sejak kemarin aku minta berhenti bekerja di kantor kecamatan,” akhirnya keluar juga kalimat itu.
“Sudahlah, pak. Aku akan berusaha lebih keras lagi untuk membiayai sekolah anak-anak,” perempuan itu merengkuh tubuh suaminya yang bergetar karena menahan tangis. Tangis pertama yang dilihatnya selama berumah tangga.
Lelaki itu bangkit dan berjalan menuju dapur. Ia akan menjerang air untuk membuatkan teh istrinya, kebiasaannya beberapa waktu terakhir ini sejak sering sakit. Ketika melintas ruang tengah sejenak kakinya berhenti. Ia menoleh ke dinding bambu. Dipandanginya beberapa pigura yang tertempel di dinding bambu itu. Bukan foto yang terpampang di sana, tetapi beberapa piagam penghargaan yang diraih anak-anaknya. Piagam-piagam itulah yang memberinya semangat hidup yang luar biasa. Meski hidup serba kekurangan tetapi anak-anaknya selalu rajin belajar dan mampu berprestasi. Air matanya kembali menetes dan tangan keriput itu mengusap lembut air mata itu.
“Maafkan bapak, sayang …”
Matanya tertuju pada amplop di atas meja belajar anaknya. Amplop itulah yang membuat pikirannya beberapa hari ini bingung. Tangannya meraih amplop itu dan perlahan membukanya.
“Selamat! Putra Anda berhak mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan sekolah di Universitas Negeri Yogyakarta berkat prestasinya menjuarai Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja.”
Bukan bea siswa itu yang membuat hatinya bingung. Semua biaya pendidikan sudah ditanggung oleh universitas. Yang membuatnya bingung adalah biaya hidup maupun biaya buku dan lain-lain. Apalagi kemarin sempat berbincang dengan putranya. Sang putra tetap menginginkan agar bisa kuliah. Senyampang ada beasiswa, begitu katanya. Meski sang bapak telah berusaha memberikan pengertian kepada putranya nyatanya hal itu malah membuat sang putra marah. Sudahlah pak, aku akan berusaha sendiri untuk menyelesaikan kuliah ini. Setelah itu sang putra meninggalkan rumah dan sampai sekarang belum kembali.

Empat tahun kemudian … .

Pemuda itu meletakkan topi toga di atas pusara di depannya. Di pusara itu tertulis nama: Djamari, wafat 20 Mei 1999. Pemuda itu mematung dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya terkatup rapat. Gemuruh dadanya membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia telah berdiri di samping makam bapaknya selama satu jam lebih. Empat tahun dia tidak tahu betapa bapaknya ternyata telah tiada.
“Bapak, seharusnya bapak yang lebih berhak mengenakan topi toga ini. Sekarang anakmu sudah ada di sini, bapak. Bersimpuh di pusaramu. Memohon ampunanmu,” tak kuasa pemuda itu menahan derai air matanya.
“Betapa berdosanya putramu ini, bapak. Andaikan waktu itu aku tidak berkeras untuk berangkat kuliah, aku masih bisa menemani hari-harimu. Bisa membantumu menanam jagung dan lombok di ladang, atau membantumu membuat batako untuk rumah sederhana kita.”
Pemuda itu semakin bersimpuh di pusara itu. Tulisan di pusara itu pun sudah memudar. Kuburan itu pun tidak begitu terawat. Rumput tumbuh dimana-mana. Air matanya semakin deras mengaliri peraduan terakhir sang bapak.
“Bapak, awalnya aku sangat bahagia ketika tahu bapak mengijinkan aku untuk kuliah. Surat yang bapak kirim itu membangkitkan semangatku belajar. Aku ingin membuat bapak bahagia dan bangga. Meski kita hidup sederhana dan serba kekurangan tetapi kamu harus bisa sekolah hingga sarjana, itulah pesanmu padaku. Dan setelah surat itu kuterima, ternyata bapak juga selalu rutin mengirim uang kepadaku setiap bulannya untuk biaya kuliah dan biaya hidup. Betapa bodohnya aku ini. Kenapa waktu itu aku tidak berpikir, dari mana bapak mendapatkan uang sebanyak itu untuk membiayai kuliahku. Dan kenapa aku tidak pernah mempertanyakan pada diriku sendiri, kenapa surat-suratku kepada bapak tidak pernah dibalas oleh bapak sendiri tetapi dibalas oleh adikku,” tangan pemuda itu membelai halus pusara di depannya.
“Bapak, aku tahu bapak sedang sakit ketika aku nekat berangkat ke Yogyakarta. Aku ingat betul bapak. Aku berangkat tanggal 13 Mei 1999, seminggu sebelum bapak meninggal. Aku tidak tahu jika sepeninggalku penyakit batuk bapak semakin parah dan diperparah dengan penyakit dalam. Penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Aku juga tidak tahu ketika ternyata bapak mendonorkan kedua ginjal bapak untuk biaya kuliahku karena bapak merasa hidup bapak tidak lama lagi. Aku juga tidak tahu ternyata yang membiayai kuliahku adalah orang yang menerima ginjal bapak. Aku baru tahu ketika aku pulang. Setelah kubaca surat perjanjian yang bapak tanda tangani tentang donor ginjal itu. Kenapa semua itu bapak lakukan?”
“Bapak, aku tidak pulang selama empat tahun ini bukan karena masih marah padamu, tetapi karena aku ingin pulang jika aku telah berhasil meraih gelar sarjana seperti mimpimu. Dan kini kupersembahkan gelar sarjana ini untuk bapak. Aku yakin, bapak pasti bangga padaku,” pemuda itu tak sanggup untuk tidak memeluk batu nisan di depannya.
Perlahan tangannya membersihkan nisan yang dari tadi dipeluknya. Kemudian dengan tangan gemetar mengambil spidol dan menuliskan di batu nisan itu: DJAMARI, S.Pd.
“Semoga semua kebaikan dan amal ibadah bapak mendapat balasan yang lebih sempurna dari Allah swt., aamiinn … .”


Diterbitkan oleh:
Majalah Pendidikan Media Jawa Timur No. 08/Thn. XLI/Oktober 2011

Dinobatkan sebagai:
Penulis Cerpen Terbaik Majalah Media Tahun 2011/2012