BELI MOBIL ATAU
KULIAH S2
“Mas, untuk mengembangkan usaha roti ini
kita membutuhkan mobil sebagai sarana pengiriman pesanan ke pelanggan,” suara
istriku memulai perbincangan di ruang keluarga. Kulihat kedua putriku sudah
tidur semua. Acara televisi ‘Bukan Empat Mata’ yang ditayangkan oleh salah satu
stasiun tv swasta nasional baru dimulai. Bintang tamunya istimewa, yaitu
seorang polisi anggota Brimob Gorontalo yang akhir-akhir ini selalu menghiasi
layar televisi karena aksinya menirukan gaya penari India diunggah ke Youtube
dan membuatnya menjadi selebritis baru.
“Bukannya aku tidak setuju dengan idemu,
Dik. Tapi aku telah mendaftarkan diri dan dinyatakan diterima sebagai mahasiswa
program pascasarjana,” aku berusaha memberikan pengertian pada istriku sambil
merapikan selimut putriku. “Tabungan kita hanya cukup untuk biaya kuliahku,”
kulanjutkan kalimatku. Kulihat istriku menghela nafas agak berat.
“Aku tahu, Mas. Sampean memang sedang berusaha untuk meningkatkan kualitas sebagai
seorang guru profesional. Aku juga tahu kalau dengan melanjutkan studi ke S2
akan memudahkan kariermu. Dan itu juga baik untuk keluarga kita,” suara lembut
istriku seakan untuk dirinya sendiri. Tangannya masih sibuk mengaduk adonan untuk
membuat roti pesanan tetangga.
“Tetapi usaha roti kita juga sedang
berkembang pesat. Eman-eman kalau
tidak ditunjang dengan layanan pengiriman. Pelanggan pasti akan lebih senang
kalau kue pesanannya langsung diantar ke rumah.” Sambil menunggu adonan
mengembang, istriku menyalakan oven.
“Iya, sayang. Lalu bagaimana dengan
kuliahku? Sampean sendiri juga sudah
setuju. Lagipula untuk membeli mobil uang kita masih kurang,” aku masih berusaha
mempertahankan pendapatku.
“Kita bisa pinjam ke Bank Jatim untuk
kekurangan beli mobil. SK CPNS sampean
juga bisa dijadikan agunan. Tabungan kita yang sepuluh juta itu kita tambah
dengan pinjam bank sebesar dua puluh lima juta. Dengan uang itu kita bisa
membeli mobil yang lumayan bagus,” ternyata istriku memang sangat ingin membeli
mobil. Bahkan telah memiliki rencana untuk pinjam bank segala.
Obrolanku dengan istri terhenti ketika
terdengar suara ketukan pintu diselingi dengan suara salam. Siapa pula malam-malam
begini bertamu, pikirku.
“Assalaamu ‘alaikum, Pak Faruq!” Suara
salam di luar semakin keras kudengar. Aku mengenal suara itu. Bukankah itu
suara Pak Halim, tetanggaku depan rumah yang kaya raya tapi sangat kikir.
“Wa ‘alaikum salam. Sebentar Pak Halim,”
aku bangkit dan melangkah ke ruang depan untuk membuka pintu.
“Mari, silahkan duduk Pak Halim. Ada apa
malam-malam begini tumben bertamu ke rumah saya,” kataku berbasa-basi,
mengingat memang orang ini sangat jarang keluar rumah.
“Maaf Pak Faruq, saya bingung. Harus
kemana lagi saya minta tolong kalau tidak ke Pak Faruq. Pak Faruq tahu sendiri
kalau warga di sini sudah menganggap saya sebagai orang kikir. Tapi saya yakin
kalau Pak Faruq pasti mau membantu saya,” suara Pak Halim gemetar.
“Memangnya ada apa Pak Halim,” aku
berusaha ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Pak Faruq, sebenarnya saya ini bukan
pemilik rumah mewah di depan rumah Pak Faruq. Saya ini hanya seorang tukang
kebun. Sebenarnya majikan saya orangnya sangat baik. Tapi akhir-akhir ini
sering sakit, makanya saya akan marah kalau ada yang berbuat gaduh di sekitar
rumah,” Pak Halim berusaha menjelaskan masalahnya.
“Saat ini majikan saya sedang sakit keras
di rumah sakit. Butuh uang untuk operasi. Kata dokter jika tidak segera
dioperasi maka nyawanya terancam. Saya bingung Pak Faruq. Satu-satunya orang
yang bisa membantu saya saat ini adalah Pak Faruq. Saya mohon pak,” suara
lelaki itu semakin memelas.
“Maaf Pak Halim. Bukankah majikan bapak
orang yang sangat kaya. Hartanya berlimpah. Mengapa masih pinjam,” aku mulai
bimbang.
“Begini Pak Faruq. Pak Salman memang
orang kaya. Tetapi saya tidak berani mengambil barang atau uang beliau. Ketika
dibawa ke rumah sakit tadi sore kondisi Pak Salman sudah koma. Beliau terkena
serangan jantung.” Pak Halim berusaha menjelaskan. “Sedangkan untuk menghubungi
keluarga atau anak-anaknya Pak Salman saya tidak tahu alamat atau nomor telepon
mereka. Saya bingung Pak Faruq. Kalau tidak segera dioperasi maka nyawa Pak
Salman tidak akan tertolong. Dokter belum mau melakukan operasi jika belum ada
uang muka untuk biaya operasi.”
“Memangnya biaya awal yang dibutuhkan
berapa Pak Halim, kalau saya boleh tahu.”
“Kata perawat sekitar sepuluh juta.”
“Sepuluh juta? Itu jumlah yang besar,
Pak Halim,” aku agak terkejut.
“Gimana ya, Pak Halim. Bukannya saya
tidak mau membantu, tapi saya sendiri juga sedang membutuhkan uang itu. Saya harus
musyawarah dulu dengan istri saya,” aku tidak bisa menolak permintaannya tetapi
juga belum berani memutuskan sendiri untuk menolongnya.
“Baiklah Pak Faruq. Hanya Pak Faruq harapan
saya satu-satunya. Jika malam ini saya tidak membawa uang ke rumah sakit maka
kemungkinan besar Pak Salman tidak dapat tertolong lagi,” Pak Halim semakin
menunduk. Jelas wajahnya sangat sedih. Aku pamit sebentar masuk ke ruang
keluarga.
Ternyata istriku juga mengikuti
perbincanganku dengan Pak Halim.
“Bagaimana Mas, apakah tabungan kita ini
akan kita gunakan untuk membantu orang kikir itu. Bagaimana dengan rencanamu
kuliah dan rencanaku beli mobil?” istriku mencercaku dengan pertanyaan. Di
benaknya masih terlukis kalau Pak Salman itu orang yang kikir.
“Aku juga bingung, Dik. Bagaimanapun
juga dia tetangga kita. Yang kita tahu memang Pak Salman itu kikir, tapi apakah
kita akan membiarkannya ketika dia membutuhkan bantuan kita,” aku menghela
nafas berusaha memikirkan yang terbaik.
“Aku menurut saja apa keputusan sampean. Aku percaya padamu, Mas.”
“Baiklah Dik, aku pernah mendengar kalau
amal ibadah itu tergantung pada niatnya. Meskipun yang kita bantu adalah orang
kikir tetapi kalau kita niati ibadah maka akan tetap dicatat sebagai amal
kebaikan. Lagipula sesama tetangga kita juga memiliki kewajiban untuk saling
menolong. Kita tunda dulu ya beli mobil dan kuliahku. Semoga ini menjadi amal
kebaikan kita, Dik,” aku menggelengkan kepala. Sulit sebenarnya memutuskan
seperti itu.
“Harta hanya titipan Allah, Dik. Jika
memang ini yang terbaik, Allah pasti akan membalasnya dengan balasan yang lebih
baik pula. Bahkan dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka,” kuakhiri
kalimat itu dengan mengambil amplop coklat yang berisi uang sepuluh juta di
dalam almari dan kuberikan kepada Pak Halim.
Keesokan harinya aku dikejutkan dengan
suara sirene ambulans yang berhenti di depan rumah. Koq ada ambulans berhenti
di depan rumah, pikirku. Jangan-jangan, ah semoga bukan.
“Mas, kata tetangga sebelah yang dibawa
ambulans itu adalah jenazah Pak Salman,” suara istriku menjawab pertanyaan
dalam hatiku.
“Bagaimana dengan uang kita, Mas?” Duh,
ternyata istriku masih memikirkan uangnya.
“Sabarlah, Dik. Semoga saja keluarga Pak
Salman segera dapat dihubungi dan uang kita segera dikembalikan. Yang penting
sekarang aku takziyah dulu ya,” aku bergegas menuju rumah mewah yang hanya
dibatasi jalan di depan rumahku. Selama takziyah sebenarnya pikiranku tidak
tenang. Jujur aku juga memikirkan uang yang kutabung dengan susah payah sejak
menjadi guru bantu. Dan pikiran itu masih terbawa ketika aku kembali ke rumah
setelah takziyah.
Di depan rumah aku disambut oleh
istriku. Aneh. Tadi ketika berangkat takziyah kulihat wajahnya bingung karena
takut uang tabungannya tidak kembali. Tetapi kenapa sekarang wajahnya sangat
ceria. Setelah menjawab salamku ia memelukku dengan erat.
“Alhamdulillah, ternyata Allah menjawab
semua kegundahan hati kita, Mas,” suara istriku dengan penuh semangat. Aku
hanya melongo saja. Sabar kudengar penjelasannya.
“Begini mas, ternyata apa yang sampean katakan semalam benar-benar
terjadi. Mudah saja bagi Allah untuk mengatur semuanya dengan cara yang sangat indah.
Mudah juga bagi Allah untuk mengangkat derajat seorang Briptu Norman Kamaro,
yang tadinya bukan siapa-siapa tetapi sekarang kemana-mana dikawal oleh
atasannya.”
“Kamu bicara apa, sayang. Sudah, jangan
berbelit-belit. Maksudnya apa?” Aku jadi kurang sabar mendengar kelanjutan
penjelasan istriku.
“Doa kita dikabulkan oleh Allah, Mas.
Dengan cara yang tidak kita sangka-sangka. Ingatkah beberapa bulan yang lalu sampean mengajukan surat untuk mendapat
beasiswa kuliah S2? Tadi ketika sampean takziyah, Pak Pos datang mengantarkan
dua amplop kepada kita. Amplop yang satu berisi balasan dari kampus, Mas.
Selamat, sampean mendapatkan beasiswa
untuk kuliah S2,” istriku tetap masih dengan suara bersemangat. Aku masih diam,
belum percaya dengan yang kudengar.
“Tahukah mas, apa isi amplop yang
kedua?” istriku masih sempat mengajakku bercanda. “Isi amplop yang kedua
adalah, rekening kita mas, rekening kita mendapatkan undian dengan hadiah
sebuah mobil. Mobil baru mas, bukan mobil bekas yang dulu kita rencanakan.”
“Subhanallah, alhamdulillah, Dik,”
langsung aku bersujud. Memanjatkan rasa yang memenuhi relung hatiku. Begitu
mudahnya bagimu, Ya Allah. Semua sesuai dengan rencana dan kehendak-Mu. Kami
hanya berencana, Engkau yang menentukan.
Diterbitkan
Majalah Widya Jawa Timur