Merajut Asa di Akhir Usia


Merajut Asa di Akhir Usia
Langkahnya semakin rapuh. Tertatih menuntun sepeda warna biru kusam. Sejatinya lelaki itu tidak mampu lagi mengayuh sepeda. Sepeda itu dituntunnya sekaligus sebagai tongkat baginya untuk melangkah. Tubuh ringkihnya sesekali terguncang hebat ketika batuk menyerangnya. Usianya sebenarnya belum terlalu tua, baru sekitar lima puluh tahunan. Lelaki itu menyandarkan sepedanya ketika tiba di tepi jalan raya. Ia menunggu seseorang. Istrinya. Ya, istrinya yang setiap pagi berbelanja sayuran di pasar. Kemudian belanjaan itu akan dibawa keliling kampung untuk dijajakan.
Wajah kusam dan keriput itu masih menyimpan asa. Satu tekadnya. Ia ingin agar putra-putrinya berhasil menyelesaikan sekolahnya. Saat ini putranya baru saja lulus STM swasta dan putrinya baru kelas 9 SMP. Tapi tenaganya tidak mampu lagi untuk bekerja keras seperti dulu. Apalagi biaya sekolah saat ini sangat mahal.
Lelaki itu berusaha menahan perasaannya. Pantang baginya menangis. Ia seorang pekerja keras. Sebentar lagi istrinya pasti tiba. Ya, benar saja. Tak berapa lama kemudian ada angkot yang yang berhenti di dekatnya menunggu. Dan turunlah perempuan kurus berkerudung lusuh membawa tas plastik besar warna merah.
“Istriku, mana daganganmu yang lain?” tanya lelaki itu sambil membawakan bawaan istrinya dan meletakkan di boncengan sepeda.
“Maaf, pak. Hari ini aku hanya bisa membeli sedikit sayuran. Uang kita semakin habis karena banyak pembeli yang menghutang,” perempuan itu mengusap keningnya dengan ujung kerudungnya.
Begitulah adanya. Meskipun sudah membawa dagangannya keliling kampung dengan susah payah tapi tetap saja ada yang menghutang. Maklumlah, tempatnya berjualan keliling adalah kampung kecil yang sebagian besar penduduknya buruh tani dan buruh karyawan di perkebunan kopi. Mereka akan membayar hutang-hutang itu ketika gajian. Biasanya tanggal satu dan tanggal lima belas setiap bulannya.
Mereka berdua beriringan menuju ke rumah untuk menata dagangan hari ini. Rumah berdinding bambu yang terletak di bawah jalan karena untuk memasukinya harus menuruni undakan. Rumah itu tidak terlihat dari jalan meski jarak rumah dengan jalan hanya 5 meter. Dari jalan rumah itu hanya terlihat cungkupnya saja. Badan rumah seolah tertelan bumi. Kursi panjang tua di teras akan menyambut siapa saja yang bertandang. Ada jendela terbuka. Di antara jendela itu bergelantungan beraneka makanan kecil berbungkus plastik, dan aneka kebutuhan sehari-hari lainnya. Itulah sisa dagangan kemarin.
“Bu, aku minta maaf belum bisa membahagiakanmu,” lirih suara lelaki itu.
“Sudahlah, pak. Aku sudah cukup bahagia bisa membantu meringankan beban keluarga ini,” perempuan itu menjawab sambil menata sayuran.
Laki-laki itu ragu-ragu ketika akan mengatakan sesuatu kepada istrinya. Tetapi ia harus mengatakannya. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat agar istrinya bisa memahaminya.
“Bu, sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya memikirkan kedua anak kita,” akhirnya ia memberanikan diri.
“Memangnya kenapa pak? Bukankah kita setiap hari sudah seperti ini dan ndak ada masalah,” istrinya mendekat dan memperhatikan suaminya yang tertunduk.
“Untuk makan sehari-hari sudah cukup dari penghasilanku berdagang sayur keliling kampung. Sedang untuk biaya sekolah anak-anak juga sudah cukup dari gaji bapak menjadi penjaga ratel (radio telekomunikasi) dan hansip di kantor kecamatan,” perempuan itu semakin trenyuh menyaksikan suaminya.
“Itulah masalahnya, bu,” tak sanggup ia meneruskan kalimatnya.
“Memangnya ada apa, pak?”
“Ah, maafkan suamimu ini, bu. Karena kondisi kesehatanku yang semakin memburuk sejak terkena batuk, maka sejak kemarin aku minta berhenti bekerja di kantor kecamatan,” akhirnya keluar juga kalimat itu.
“Sudahlah, pak. Aku akan berusaha lebih keras lagi untuk membiayai sekolah anak-anak,” perempuan itu merengkuh tubuh suaminya yang bergetar karena menahan tangis. Tangis pertama yang dilihatnya selama berumah tangga.
Lelaki itu bangkit dan berjalan menuju dapur. Ia akan menjerang air untuk membuatkan teh istrinya, kebiasaannya beberapa waktu terakhir ini sejak sering sakit. Ketika melintas ruang tengah sejenak kakinya berhenti. Ia menoleh ke dinding bambu. Dipandanginya beberapa pigura yang tertempel di dinding bambu itu. Bukan foto yang terpampang di sana, tetapi beberapa piagam penghargaan yang diraih anak-anaknya. Piagam-piagam itulah yang memberinya semangat hidup yang luar biasa. Meski hidup serba kekurangan tetapi anak-anaknya selalu rajin belajar dan mampu berprestasi. Air matanya kembali menetes dan tangan keriput itu mengusap lembut air mata itu.
“Maafkan bapak, sayang …”
Matanya tertuju pada amplop di atas meja belajar anaknya. Amplop itulah yang membuat pikirannya beberapa hari ini bingung. Tangannya meraih amplop itu dan perlahan membukanya.
“Selamat! Putra Anda berhak mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan sekolah di Universitas Negeri Yogyakarta berkat prestasinya menjuarai Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja.”
Bukan bea siswa itu yang membuat hatinya bingung. Semua biaya pendidikan sudah ditanggung oleh universitas. Yang membuatnya bingung adalah biaya hidup maupun biaya buku dan lain-lain. Apalagi kemarin sempat berbincang dengan putranya. Sang putra tetap menginginkan agar bisa kuliah. Senyampang ada beasiswa, begitu katanya. Meski sang bapak telah berusaha memberikan pengertian kepada putranya nyatanya hal itu malah membuat sang putra marah. Sudahlah pak, aku akan berusaha sendiri untuk menyelesaikan kuliah ini. Setelah itu sang putra meninggalkan rumah dan sampai sekarang belum kembali.

Empat tahun kemudian … .

Pemuda itu meletakkan topi toga di atas pusara di depannya. Di pusara itu tertulis nama: Djamari, wafat 20 Mei 1999. Pemuda itu mematung dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya terkatup rapat. Gemuruh dadanya membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia telah berdiri di samping makam bapaknya selama satu jam lebih. Empat tahun dia tidak tahu betapa bapaknya ternyata telah tiada.
“Bapak, seharusnya bapak yang lebih berhak mengenakan topi toga ini. Sekarang anakmu sudah ada di sini, bapak. Bersimpuh di pusaramu. Memohon ampunanmu,” tak kuasa pemuda itu menahan derai air matanya.
“Betapa berdosanya putramu ini, bapak. Andaikan waktu itu aku tidak berkeras untuk berangkat kuliah, aku masih bisa menemani hari-harimu. Bisa membantumu menanam jagung dan lombok di ladang, atau membantumu membuat batako untuk rumah sederhana kita.”
Pemuda itu semakin bersimpuh di pusara itu. Tulisan di pusara itu pun sudah memudar. Kuburan itu pun tidak begitu terawat. Rumput tumbuh dimana-mana. Air matanya semakin deras mengaliri peraduan terakhir sang bapak.
“Bapak, awalnya aku sangat bahagia ketika tahu bapak mengijinkan aku untuk kuliah. Surat yang bapak kirim itu membangkitkan semangatku belajar. Aku ingin membuat bapak bahagia dan bangga. Meski kita hidup sederhana dan serba kekurangan tetapi kamu harus bisa sekolah hingga sarjana, itulah pesanmu padaku. Dan setelah surat itu kuterima, ternyata bapak juga selalu rutin mengirim uang kepadaku setiap bulannya untuk biaya kuliah dan biaya hidup. Betapa bodohnya aku ini. Kenapa waktu itu aku tidak berpikir, dari mana bapak mendapatkan uang sebanyak itu untuk membiayai kuliahku. Dan kenapa aku tidak pernah mempertanyakan pada diriku sendiri, kenapa surat-suratku kepada bapak tidak pernah dibalas oleh bapak sendiri tetapi dibalas oleh adikku,” tangan pemuda itu membelai halus pusara di depannya.
“Bapak, aku tahu bapak sedang sakit ketika aku nekat berangkat ke Yogyakarta. Aku ingat betul bapak. Aku berangkat tanggal 13 Mei 1999, seminggu sebelum bapak meninggal. Aku tidak tahu jika sepeninggalku penyakit batuk bapak semakin parah dan diperparah dengan penyakit dalam. Penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Aku juga tidak tahu ketika ternyata bapak mendonorkan kedua ginjal bapak untuk biaya kuliahku karena bapak merasa hidup bapak tidak lama lagi. Aku juga tidak tahu ternyata yang membiayai kuliahku adalah orang yang menerima ginjal bapak. Aku baru tahu ketika aku pulang. Setelah kubaca surat perjanjian yang bapak tanda tangani tentang donor ginjal itu. Kenapa semua itu bapak lakukan?”
“Bapak, aku tidak pulang selama empat tahun ini bukan karena masih marah padamu, tetapi karena aku ingin pulang jika aku telah berhasil meraih gelar sarjana seperti mimpimu. Dan kini kupersembahkan gelar sarjana ini untuk bapak. Aku yakin, bapak pasti bangga padaku,” pemuda itu tak sanggup untuk tidak memeluk batu nisan di depannya.
Perlahan tangannya membersihkan nisan yang dari tadi dipeluknya. Kemudian dengan tangan gemetar mengambil spidol dan menuliskan di batu nisan itu: DJAMARI, S.Pd.
“Semoga semua kebaikan dan amal ibadah bapak mendapat balasan yang lebih sempurna dari Allah swt., aamiinn … .”


Diterbitkan oleh:
Majalah Pendidikan Media Jawa Timur No. 08/Thn. XLI/Oktober 2011

Dinobatkan sebagai:
Penulis Cerpen Terbaik Majalah Media Tahun 2011/2012

Beli Mobil atau Kuliah S2


BELI MOBIL ATAU KULIAH S2

“Mas, untuk mengembangkan usaha roti ini kita membutuhkan mobil sebagai sarana pengiriman pesanan ke pelanggan,” suara istriku memulai perbincangan di ruang keluarga. Kulihat kedua putriku sudah tidur semua. Acara televisi ‘Bukan Empat Mata’ yang ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta nasional baru dimulai. Bintang tamunya istimewa, yaitu seorang polisi anggota Brimob Gorontalo yang akhir-akhir ini selalu menghiasi layar televisi karena aksinya menirukan gaya penari India diunggah ke Youtube dan membuatnya menjadi selebritis baru.
“Bukannya aku tidak setuju dengan idemu, Dik. Tapi aku telah mendaftarkan diri dan dinyatakan diterima sebagai mahasiswa program pascasarjana,” aku berusaha memberikan pengertian pada istriku sambil merapikan selimut putriku. “Tabungan kita hanya cukup untuk biaya kuliahku,” kulanjutkan kalimatku. Kulihat istriku menghela nafas agak berat.
“Aku tahu, Mas. Sampean memang sedang berusaha untuk meningkatkan kualitas sebagai seorang guru profesional. Aku juga tahu kalau dengan melanjutkan studi ke S2 akan memudahkan kariermu. Dan itu juga baik untuk keluarga kita,” suara lembut istriku seakan untuk dirinya sendiri. Tangannya masih sibuk mengaduk adonan untuk membuat roti pesanan tetangga.
“Tetapi usaha roti kita juga sedang berkembang pesat. Eman-eman kalau tidak ditunjang dengan layanan pengiriman. Pelanggan pasti akan lebih senang kalau kue pesanannya langsung diantar ke rumah.” Sambil menunggu adonan mengembang, istriku menyalakan oven.
“Iya, sayang. Lalu bagaimana dengan kuliahku? Sampean sendiri juga sudah setuju. Lagipula untuk membeli mobil uang kita masih kurang,” aku masih berusaha mempertahankan pendapatku.
“Kita bisa pinjam ke Bank Jatim untuk kekurangan beli mobil. SK CPNS sampean juga bisa dijadikan agunan. Tabungan kita yang sepuluh juta itu kita tambah dengan pinjam bank sebesar dua puluh lima juta. Dengan uang itu kita bisa membeli mobil yang lumayan bagus,” ternyata istriku memang sangat ingin membeli mobil. Bahkan telah memiliki rencana untuk pinjam bank segala.
Obrolanku dengan istri terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu diselingi dengan suara salam. Siapa pula malam-malam begini bertamu, pikirku.
“Assalaamu ‘alaikum, Pak Faruq!” Suara salam di luar semakin keras kudengar. Aku mengenal suara itu. Bukankah itu suara Pak Halim, tetanggaku depan rumah yang kaya raya tapi sangat kikir.
“Wa ‘alaikum salam. Sebentar Pak Halim,” aku bangkit dan melangkah ke ruang depan untuk membuka pintu.
“Mari, silahkan duduk Pak Halim. Ada apa malam-malam begini tumben bertamu ke rumah saya,” kataku berbasa-basi, mengingat memang orang ini sangat jarang keluar rumah.
“Maaf Pak Faruq, saya bingung. Harus kemana lagi saya minta tolong kalau tidak ke Pak Faruq. Pak Faruq tahu sendiri kalau warga di sini sudah menganggap saya sebagai orang kikir. Tapi saya yakin kalau Pak Faruq pasti mau membantu saya,” suara Pak Halim gemetar.
“Memangnya ada apa Pak Halim,” aku berusaha ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Pak Faruq, sebenarnya saya ini bukan pemilik rumah mewah di depan rumah Pak Faruq. Saya ini hanya seorang tukang kebun. Sebenarnya majikan saya orangnya sangat baik. Tapi akhir-akhir ini sering sakit, makanya saya akan marah kalau ada yang berbuat gaduh di sekitar rumah,” Pak Halim berusaha menjelaskan masalahnya.
“Saat ini majikan saya sedang sakit keras di rumah sakit. Butuh uang untuk operasi. Kata dokter jika tidak segera dioperasi maka nyawanya terancam. Saya bingung Pak Faruq. Satu-satunya orang yang bisa membantu saya saat ini adalah Pak Faruq. Saya mohon pak,” suara lelaki itu semakin memelas.
“Maaf Pak Halim. Bukankah majikan bapak orang yang sangat kaya. Hartanya berlimpah. Mengapa masih pinjam,” aku mulai bimbang.
“Begini Pak Faruq. Pak Salman memang orang kaya. Tetapi saya tidak berani mengambil barang atau uang beliau. Ketika dibawa ke rumah sakit tadi sore kondisi Pak Salman sudah koma. Beliau terkena serangan jantung.” Pak Halim berusaha menjelaskan. “Sedangkan untuk menghubungi keluarga atau anak-anaknya Pak Salman saya tidak tahu alamat atau nomor telepon mereka. Saya bingung Pak Faruq. Kalau tidak segera dioperasi maka nyawa Pak Salman tidak akan tertolong. Dokter belum mau melakukan operasi jika belum ada uang muka untuk biaya operasi.”
“Memangnya biaya awal yang dibutuhkan berapa Pak Halim, kalau saya boleh tahu.”
“Kata perawat sekitar sepuluh juta.”
“Sepuluh juta? Itu jumlah yang besar, Pak Halim,” aku agak terkejut.
“Gimana ya, Pak Halim. Bukannya saya tidak mau membantu, tapi saya sendiri juga sedang membutuhkan uang itu. Saya harus musyawarah dulu dengan istri saya,” aku tidak bisa menolak permintaannya tetapi juga belum berani memutuskan sendiri untuk menolongnya.
“Baiklah Pak Faruq. Hanya Pak Faruq harapan saya satu-satunya. Jika malam ini saya tidak membawa uang ke rumah sakit maka kemungkinan besar Pak Salman tidak dapat tertolong lagi,” Pak Halim semakin menunduk. Jelas wajahnya sangat sedih. Aku pamit sebentar masuk ke ruang keluarga.
Ternyata istriku juga mengikuti perbincanganku dengan Pak Halim.
“Bagaimana Mas, apakah tabungan kita ini akan kita gunakan untuk membantu orang kikir itu. Bagaimana dengan rencanamu kuliah dan rencanaku beli mobil?” istriku mencercaku dengan pertanyaan. Di benaknya masih terlukis kalau Pak Salman itu orang yang kikir.
“Aku juga bingung, Dik. Bagaimanapun juga dia tetangga kita. Yang kita tahu memang Pak Salman itu kikir, tapi apakah kita akan membiarkannya ketika dia membutuhkan bantuan kita,” aku menghela nafas berusaha memikirkan yang terbaik.
“Aku menurut saja apa keputusan sampean. Aku percaya padamu, Mas.”
“Baiklah Dik, aku pernah mendengar kalau amal ibadah itu tergantung pada niatnya. Meskipun yang kita bantu adalah orang kikir tetapi kalau kita niati ibadah maka akan tetap dicatat sebagai amal kebaikan. Lagipula sesama tetangga kita juga memiliki kewajiban untuk saling menolong. Kita tunda dulu ya beli mobil dan kuliahku. Semoga ini menjadi amal kebaikan kita, Dik,” aku menggelengkan kepala. Sulit sebenarnya memutuskan seperti itu.
“Harta hanya titipan Allah, Dik. Jika memang ini yang terbaik, Allah pasti akan membalasnya dengan balasan yang lebih baik pula. Bahkan dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka,” kuakhiri kalimat itu dengan mengambil amplop coklat yang berisi uang sepuluh juta di dalam almari dan kuberikan kepada Pak Halim.

Keesokan harinya aku dikejutkan dengan suara sirene ambulans yang berhenti di depan rumah. Koq ada ambulans berhenti di depan rumah, pikirku. Jangan-jangan, ah semoga bukan.
“Mas, kata tetangga sebelah yang dibawa ambulans itu adalah jenazah Pak Salman,” suara istriku menjawab pertanyaan dalam hatiku.
“Bagaimana dengan uang kita, Mas?” Duh, ternyata istriku masih memikirkan uangnya.
“Sabarlah, Dik. Semoga saja keluarga Pak Salman segera dapat dihubungi dan uang kita segera dikembalikan. Yang penting sekarang aku takziyah dulu ya,” aku bergegas menuju rumah mewah yang hanya dibatasi jalan di depan rumahku. Selama takziyah sebenarnya pikiranku tidak tenang. Jujur aku juga memikirkan uang yang kutabung dengan susah payah sejak menjadi guru bantu. Dan pikiran itu masih terbawa ketika aku kembali ke rumah setelah takziyah.
Di depan rumah aku disambut oleh istriku. Aneh. Tadi ketika berangkat takziyah kulihat wajahnya bingung karena takut uang tabungannya tidak kembali. Tetapi kenapa sekarang wajahnya sangat ceria. Setelah menjawab salamku ia memelukku dengan erat.
“Alhamdulillah, ternyata Allah menjawab semua kegundahan hati kita, Mas,” suara istriku dengan penuh semangat. Aku hanya melongo saja. Sabar kudengar penjelasannya.
“Begini mas, ternyata apa yang sampean katakan semalam benar-benar terjadi. Mudah saja bagi Allah untuk mengatur semuanya dengan cara yang sangat indah. Mudah juga bagi Allah untuk mengangkat derajat seorang Briptu Norman Kamaro, yang tadinya bukan siapa-siapa tetapi sekarang kemana-mana dikawal oleh atasannya.”
“Kamu bicara apa, sayang. Sudah, jangan berbelit-belit. Maksudnya apa?” Aku jadi kurang sabar mendengar kelanjutan penjelasan istriku.
“Doa kita dikabulkan oleh Allah, Mas. Dengan cara yang tidak kita sangka-sangka. Ingatkah beberapa bulan yang lalu sampean mengajukan surat untuk mendapat beasiswa kuliah S2? Tadi ketika sampean takziyah, Pak Pos datang mengantarkan dua amplop kepada kita. Amplop yang satu berisi balasan dari kampus, Mas. Selamat, sampean mendapatkan beasiswa untuk kuliah S2,” istriku tetap masih dengan suara bersemangat. Aku masih diam, belum percaya dengan yang kudengar.
“Tahukah mas, apa isi amplop yang kedua?” istriku masih sempat mengajakku bercanda. “Isi amplop yang kedua adalah, rekening kita mas, rekening kita mendapatkan undian dengan hadiah sebuah mobil. Mobil baru mas, bukan mobil bekas yang dulu kita rencanakan.”
“Subhanallah, alhamdulillah, Dik,” langsung aku bersujud. Memanjatkan rasa yang memenuhi relung hatiku. Begitu mudahnya bagimu, Ya Allah. Semua sesuai dengan rencana dan kehendak-Mu. Kami hanya berencana, Engkau yang menentukan.

Diterbitkan Majalah Widya Jawa Timur

Pikirkan dan Syukurilah

Pikirkan dan Syukurilah!

Artinya, ingatlah setiap nikmat yang Allah anugerahkan kepada Anda.Karena Dia telah melipatkan nikmat-Nya dari ujung rambut hingga ke bawah kedua telapak kaki.

{Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.}
(QS. Ibrahim: 34)

Kesehatan badan, keamanan negara, sandang pangan, udara dan air, semuanya tersedia dalam hidup kita. Namun begitulah, Anda memiliki dunia, tetapi tidak pernah menyadarinya. Anda menguasai kehidupan, tetapi tak pernah mengetahuinya.



{Dan, Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.}
(QS. Luqman: 20)

Anda memiliki dua mata, satu lidah, dua bibir, dua tangan dan dua kaki.

{Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?}
(QS. Ar-Rahman: 13)

Apakah Anda mengira bahwa, berjalan dengan kedua kaki itu sesuatu yang sepele, sedang kaki acapkali menjadi bengkak bila digunakan jalan terus menerus tiada henti? Apakah Anda mengira bahwa berdiri tegak di atas kedua betis itu sesuatu yang mudah, sedang keduanya bisa saja tidak kuat dan suatu ketika patah?

Maka sadarilah, betapa hinanya diri kita manakala tertidur lelap, ketika sanak saudara di sekitar Anda masih banyak yang tidak bisa tidur karena sakit yang mengganggunya? Pernahkah Anda merasa nista manakala dapat menyantap makanan lezat dan minuman dingin saat masih banyak orang di sekitar Anda yang tidak bisa makan dan minum karena sakit?

Coba pikirkan, betapa besarnya fungsi pendengaran, yang dengannya Allah menjauhkan Anda dari ketulian. Coba renungkan dan raba kembali mata Anda yang tidak buta. Ingatlah dengan kulit Anda yang terbebas dari penyakit lepra dan supak. Dan renungkan betapa dahsyatnya fungsi otak Anda yang selalu sehat dan terhindar dari kegilaan yang menghinakan.

Adakah Anda ingin menukar mata Anda dengan emas sebesar gunung Uhud, atau menjual pendengaran Anda seharga perak satu bukit? Apakah Anda mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah Anda, hingga Anda bisu? Maukah Anda menukar kedua tangan Anda dengan untaian mutiara, sementara tangan Anda buntung?

Begitulah, sebenarnya Anda berada dalam kenikmatan tiada tara dan kesempumaan tubuh, tetapi Anda tidak menyadarinya. Anda tetap merasa resah, suntuk, sedih, dan gelisash, meskipun Anda masih mempunyai nasi hangat untuk disantap, air segar untuk diteguk, waktu yang tenang untuk
tidur pulas, dan kesehatan untuk terus berbuat.

Anda acapkali memikirkan sesuatu yang tidak ada, sehingga Anda pun lupa mensyukuri yang sudah ada. Jiwa Anda mudah terguncang hanya karena kerugian materi yang mendera. Padahal, sesungguhnya Anda masih memegang kunci kebahagiaan, memiliki jembatan pengantar kebahagian,
karunia, kenikmatan, dan lain sebagainya. Maka pikirkan semua itu, dan kemudian syukurilah!

{Dan, pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan.}
(QS. Adz-Dzariyat: 21)

Pikirkan dan renungkan apa yang ada pada diri, keluarga, rumah, pekerjaan, kesehatan, dan apa saja yang tersedia di sekeliling Anda. Dan janganlah termasuk golongan

{Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya.}
(QS. An-Nahl: 83)

Pelajaran hidup di Stasiun Jatinegara

Pelajaran hidup di Stasiun Jatinegara

Ketika pulang tugas audit dari surabaya Kereta Argo angrek yang saya tumpangi dari Stasiun Pasar turi surabaya perlahan-lahan memasuki stasiun Jatinegara. Para penumpang yang akan turun di Jatinegara saya lihat sudah bersiap-siap di depan pintu, karena sudah di jemput oleh keluarga. suasana jatinegara penuh sesak seperti biasa.

Sementara itu, dari jendela, saya lihat beberapa orang porter/buruh angkut berlomba lebih dulu masuk ke kereta yang masih melaju. Mereka berpacu dengan kereta, persis dengan kehidupan mereka yang terus berpacu dengan tekanan kehidupan kota Jakarta. Saat kereta benar-benar berhenti, kesibukan penumpang yang turun dan porter yang berebut menawarkan jasa kian kental terasa. Sementara di luar kereta saya lihat kesibukan kaum urban yang akan menggunakan kereta. Mereka kebanyakan berdiri,karena fasilitas tempat duduk kurang memadai. Sebuah lagu lama PT. KAI yang selalu dan selalu diputar dengan setia.

Tiba-tiba terdengar suara anak kecil membuyarkan keasyikan saya mengamati perilaku orang-orang di Jatinegara. Saya lihat seorang bocah berumur sekitar 10 tahun berdiri disamping saya. Kondisi fisiknya menggambarkan tekanan kehidupan yang berat baginya.

Kulitnya hitam dekil dengan baju kumal dan robek-robek disana-sini. Tubuhnya kurus kering tanda kurang gizi. “Ya?” Tanya saya kepada anak itu karena saya tadi konsentrasi saya melihat orang-orang di luar kereta. “Maaf, apakah air minum itu sudah tidak bapak butuhkan ?” katanya dengan penuh sopan sambil jarinya menunjuk air minum di atas tempat makanan dan minum samping jendela. Pandangan saya segera mengikuti arah telunjuk si bocah. Oh, air minum dalam kemasan gelas dari katering kereta yang tidak saya minum. Saya bahkan sudah tidak peduli sama sekali dengan air itu. Semalam saya hanya minta air minum dalam kemasan gelas untuk jaga-jaga dan menolak nasi yang diberikan oleh pramugara. Perut saya sudah cukup terisi dengan makan di rumah.

“Tidak. Mau ? Nih…” kata saya sambil memberikan air minum kemasan gelas kepada bocah itu. Diterimanya air itu dengan senyum simpul. Senyum yang tulus.

Beberapa menit kemudian, saya lihat dari balik jendela kereta, bocah tadi berjalan beririringan dengan 3 orang temannya. Masing-masing membawa tas kresek di tangannya. Ke empat anak itu kemudian duduk melingkar dilantai emplasemen. Mereka duduk begitu saja. Mereka tidak repot-repot membersihkan lantai yang terlihat kotor. Masing- masing kemudian mengeluarkan isi tas kresek masing-masing.

Setelah saya perhatikan, rupanya isinya adalah “harta karun” yang mereka temukan di atas kereta. Saya lihat ada roti yang tinggal separoh, jeruk medan, juga separuh; sisa nasi catering kereta, dan air minum dalam kemasan gelas !

Selanjutnya dengan rukun mereka saling berbagi “harta karun” temuan mereka dari kereta. Saya lihat bocah paling besar menciumi nasi bekas catering kereta untuk memastikan apakah sudah basi atau belum. Tanpa menyentuh sisa makanan, kotak nasi itu kemudian disodorkan pada temannya. Oleh temannya, nasi sisa tersebut juga dibaui. Kemudian, dia tertawa dengan penuh gembira sambil mengangkat tinggi-tinggi sepotong paha ayam goreng. Saya lihat, paha ayam goreng itu sudah tidak utuh. Nampak jelas bekas gigitan seseorang.

Tapi si bocah tidak peduli, dengan lahap paha ayam itu dimakannya. Demikian juga makanan sisa lainnya. Mereka makan dengan penuh lahap. Sungguh, sebuah “pesta” yang luar biasa. Pesta kemudian diakhiri dengan berbagi air minum dalam kemasan gelas !

Menyaksikan itu semua, saya jadi tertegun. Saya lihat sendiri persis di depan mata, potret anak-anak kurang beruntung yang mencoba bertahan dari kerasnya kehidupan. Nampaknya hidup mereka adalah apa yang mereka peroleh hari itu. Hidup adalah hari ini. Esok adalah mimpi dan misteri.

Cita-cita ?
Masa Depan ? Lebih absurd lagi.

Bagi saya pribadi, pelajaran berharga yang saya petik adalah, bahwa saya harus makin pandai bersyukur atas segala rejeki dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Dan tidak lagi memandang sepele hal yang nampak sepele, seperti misalnya: air minum kemasan gelas. Karena bisa jadi sesuatu yang bagi kita sepele, bagi orang lain sangat berarti.

Sumber: www.kisahinspiratif.com

Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak
Oleh: Waras Kamdi

PROGRAM percepatan belajar (lebih sering disebut kelas akselerasi atau "kelas aksel")mengingatkan kita pada program sekolah unggulan yang didirikan tahun 1994, yang telah dinilaigagal karena ternyata di dalamnya banyak juga yang tidak unggul. "Kelas aksel" bisa disebutsebagai bentuk "reinkarnasi" sekolah unggulan. Dasar pemikirannya sama, yaitu peserta didikyang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebihkhusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya. Dengan kata yang lebihklise, menyiapkan "pasukan para" calon pemimpin masa depan.SEJAK pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar diluncurkan Depdiknas, sekolah-sekolah seperti "diwajibkan" membuat kelas khusus yang berisi anak-anak yang dinilai memilikikecerdasan luar biasa (sebutlah kelas unggulan). Kenyataan di lapangan, "kelas aksel" juga takterhindar dari penyimpangan, mulai dari proses perekrutan hingga pelayanannya (Kompas, 24dan 26 Juli 2004). Kelas ini dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat "kelas aksel" identik dengan kelaseksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks.Sekilas, program ini niscaya. Ada beberapa alasan yang masuk akal. Pertama, alasan efisiensisosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena negara Indonesia yang sedemikian besar,dengan penduduk amat banyak, dililit masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapimiskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secaralebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang andal untukmemperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, ketimbang dana yang sedikit itu dibagi-ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan. Akumulasi pelayanan pendidikan"yang lebih" itu seakan mengharap kita semua memahami pentingnya bangsa ini "segera"memiliki "pasukan para", meskipun prosesnya harus diskriminatif dengan harus mengorbankansebagian besar anak yang lain yang juga punya hak yang sama untuk mendapatkan layananpendidikan yang terbaik.Kedua, membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas)tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderungmengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yangterpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.Ketiga, memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepatsesuai dengan potensinya.PERSOALANNYA, haruskah keniscayaan itu ditempuh dengan melakukan diskriminasi?Percepatan belajar (accelerated learning) sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaranpada dasarnya mengakui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkandirinya menjadi yang terbaik.Ketika seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai (match) dengan gayabelajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural. Karena belajar berlangsung natural,maka menjadi lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat.Itulah mengapa kemudian disebut accelerated learning. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakanutama percepatan belajar adalah karakteristik siswa.

Jika kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka- pada konteks ini-kecerdasan adalahsemata-mata kategori untuk mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudahsemestinya program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun. Jikasekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian kecerdasan,maka harus ditujukan untuk semua anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasanmereka.Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti yang sekarang dilakukan banyak sekolahuntuk membuat kelas yang disebut unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolahmenganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam kelompok siswa yangtak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.Implementasi program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasianskor IQ yang dilakukan sekolah saat ini akan menimbulkan dampak buruk. Pertama,menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang diskriminatif. Guru akan lebih banyakmenaruh perhatian kepada kelas khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hakasasi anak yang dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnyadi sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi karena siswa biasa pun berhak mendapatpelayanan maksimal.Kedua, menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu rendahnya motivasi belajar, dan bahkanmungkin akan memicu perilaku menyimpang karena mereka merasa karakternya telah terbunuholeh sistem kelas yang diciptakan sekolah.Ketiga, demikian sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelasunggulan akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat oranglain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk ke dalam kelascepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala psikologis seperti itu.TEORI baru telah menunjukkan bahwa kecerdasan berdimensi majemuk. Teori multipleintelligences Howard Gardner yang telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukungtemuan-temuan di bidang neuro science tentang fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teoribaru yang layak dijadikan landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa.Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi sembilan jenis,yaitu linguistik, logiko-matematikal, musikal, spasial-visual, kinestetik-jasmani, intrapersonal,interpersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial. Orang yang kurang cerdas di bidanglogiko-matematikal mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkinspasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang didasarkan pada skor IQ, notabenehanya mengukur kecerdasan logika-matematikal dan sedikit linguistik. Oleh karena itu,identifikasian kecerdasan luar biasa yang hanya ditentukan berdasarkan skor IQ hanyamengukur dua dimensi saja.Betapa indahnya sekolah jika dapat melayani semua karakteristik siswa sesuai dengankecenderungan kecerdasannya secara optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdaslogiko-matimatikal saja yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswayang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain. Pelayanan secara berbeda tetapi sama-sama optimal bukanlah diskriminasi yang terjadi, tetapi keniscayaan bagi semua siswa. Olehkarena itu, sekolah-sekolah yang telah membuat kelas unggulan versi Depdiknas itu perlumeninjau ulang sebelum program itu menambah daftar panjang masalah pendidikan kita yang takhenti-henti dirundung masalah.

Waras Kamdi
Kepala Pusat Kurikulum, Pengembangan Pembelajaran dan Evaluasi LP3Universitas Negeri Malang



Forum Guru
Penerapan Program Akselerasi di Daerah
Oleh NONO SUKARNO, S.P.

SEBUAH pertanyaan yang sangat berharga, tidak mudahdiwujudkan. Di dalamnya terkandung makna tanya, apa, bagaimana,di mana, dan kapan program itu mulai dilaksanakan. Bagaimanapula pelaksanaannya di lapangan, kurikulum, strategi pembelajaran,sarana dan prasarana, serta bagaimana perlakuan guru terhadapsiswa akselerasi ini.Sebuah program yang dikemas diharapkan terlaksana dengan baik agar menghasilkan
output
bermutu, sesuai tuntutan dan kebijakanyang dibuat oleh para pengambil keputusan. Serta untuk memenuhiketetapan satuan pendidikan berstandar nasional, baik sekolah yangada di daerah maupun kota besar.Kalau kita sadari, di negara kita terdapat banyak siswa berbakat danberpotensi di bidang akademik. Salah satu bentuk usaha yangdilakukan pemerintah, program akselerasi (percepatan belajar).Yakni pemberian layanan pendidikan dengan menyelesaikan belajar dalam waktu lebih cepat dibanding temannya. Misalnya SD menjadilima atau empat tahun, SMP dan SMA menjadi dua tahun.Sekolah di beberapa kota besar, pemerintah telah melaksanakanprogram ini yang telah dirintis mulai tahun 1998/1999, dan masihterus dikembangkan hingga saat ini. Program yang menitikberatkanpada sekolah yang dianggap unggul dan favorit, memiliki berbagaifasilitas penunjang belajar yang lengkap. Sekaligus berhasilmencetak siswanya berkualitas dengan predikat memuaskan. Rata-rata mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi denganmudah sesuai minatnya. Untuk tingkat SMA, lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi nasional maupun internasional.Bagaimana dengan sekolah di daereah khususnya wilayahkecamatan atau kabupaten kecil? Belum adanya langkah nyata daripemerintah daerah terutama dinas pendidikan kabupaten/kecamatan,sehingga program ini kurang populer di kalangan masyarakatpendidikan, terutama di sekolah di daerah pinggiran. Benarkahpemerintah pusat belum memberikan otonomi penuh padapemerintah daerah di sektor pendidikan?

Berbagai pertimbanganNamun begitu, pemerintah tidak perlu disalahkan. Pada dasarnyatelah memberikan berbagai kemudahan dan bertindak adil dalammencerdaskan masyarakatnya. Program ini diperuntukkan untuk semua sekolah, namun hanya sekolah tertentu yang memenuhikriteria "mampu" melaksanakan program kilat belajar ini. Berbagaipertimbangan dapat dijadikan alasan, hingga tidak terlaksananyaprogram ini pada sekolah di daerah yang belum mapan, tidak siap,akhirnya tujuan tidak tercapai, siswa tidak mencapai predikat lulussesuai standar nasional.Pertama, minat anak daerah untuk masuk kelas akselerasi cenderunglebih rendah karena jumlah anak yang "cerdas" di sini lebih sedikit,ada anggapan memberatkan, buang-buang energi, mudah stres, tidak mampu bersaing hingga mereka cenderung memilih kelas biasa(reguler). Karena itu, dalam proses pembelajaran pun persaingantidak begitu ketat.Nilai mudah diperoleh karena soal disesuaikan dengan variasikecerdasan siswa, yang umumnya biasa. Meski ia "jago", ukurankecerdasannya akan berbeda dengan siswa perkotaan. Misalnya,nilai matematika 8 siswa daerah bobotnya tidak akan sama dengannilai matematika 8 siswa kota. Ini dipengaruhi berbagai faktor diantaranya, untuk memperoleh nilai bagus di kelas "kota" harusekstrakeras karena soal dibuat sedemikian sulit sebab tingkatpersaingan sangat tinggi.Cerdasnya siswa daerah hanya berlaku di "kandang" sendiri. Ketikaia harus bertemu "adu saing" dengan siswa kota pada momentertentu, ia merasa dirinya paling tertinggal. Asupan gizi makanandan pengalaman hidup sehari-hari menentukan tingkat kecerdasansiswa kota ini.Kedua, penyesuaian kurikulum dan GBPP yang digunakan padakelas akselerasi, dimungkinkan siswa daerah akan lambatmenyelesaikan seluruh materi pelajaran. Sebab kompetensi yangdimilikinya lebih rendah sehingga siswa sulit mencapai target danmemahami tahap materi yang harus dilalui dan dikuasai.Ketiga, strategi pembelajaran pada kelas ini, siswa selalu dibimbingdan diarahkan untuk dapat menemukan, menafsirkan danmenyimpulkan sendiri
(discovery oriented)
apa yang telahdipelajari. Di daerah, metode ini jarang diterapkan, umumnyamenggunakan metode ceramah (duduk, dengar, catat) siswa belajar

pasif.Keempat, ada banyak hal yang turut mendukung berhasil-tidaknyaprogram ini. Yakni sarana dan prasarana termasuk di dalamnya gurudan buku. Pada kelas ini guru harus memiliki kualifikasi dankemampuan khusus, berkualitas, berpengalaman, mendapatpelatihan dan selalu siap agar dapat menyesuaikan diri dengansiswanya.Di daerah, jumlah guru yang memenuhi kualifikasi relatif sedikit,dan agak sulit untuk mendatangkan guru dari luar sekolah. Sebabharus mengeluarkan dan menambah anggaran tambahan untuk keperluan itu. Selain itu, buku yang digunakan di kelas ini diambildari berbagai sumber, tidak berpatokan pada buku itu saja termasuk internet bisa dijadikan acuan sumber informasi. Semua ini jarangsekali dimiliki sekolah yang ada di daerah.Kelima, orang tua yang siswanya masuk kelas akselerasi umumnyasangat mendukung dan antusias. Ini dibuktikan dengan kesanggupanpembayaran uang SPP lebih besar dari siswa. Sebagian uang itudigunakan untuk membayar honor tambahan guru yang mengajar dikelas akselerasi.Wajar bila kemampuan ekonomi orang tua turut berpengaruhterhadap maju-mundurnya pendidikan. Di daerah, orang tua siswamemiliki penghasilan bervariasi, sebagian dari mereka mungkintidak mampu membayar SPP sesuai standar yang ditetapkan.Melihat kondisi seperti ini, sekolah tertentu merasa "malas" danpesimis untuk membuka kelas akselerasi ini sebab harus menambahanggaran yang tidak sedikit.Mungkinkah kelas akselerasi diterapkan di daerah? Jawabannyamungkin, asal ada niat dan tekad yang kuat serta dukungan darisemua pihak. Amin. Bukankah pendidikan itu tanggung jawab kitasemua?***
Penulis Guru Honorer SMPN 2 Purwadadi Subang.


Program Akselerasi (KELAS PERCEPATAN)
by, filen
Program Akselerasi adalah merupakan salah satu alternatif dalampenyelenggaraan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yangmempunyai kemampuan luar biasa (unggul). Peserta didik yangmemiliki kemampuan tersebut berhak memperoleh pelayananpendidikan yang sesuai dengan potensi individunya, sehingga dapatmenyelesaikan studinya lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan.Untuk tingkat SLTP yang dijadwalkan selesai dalam waktu 3 tahundapat ditempuh dalam waktu 2 tahun ( 1 tahun lebih cepat ).A. Tujuan diselenggarakannya program akselerasi:Memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektif Memenuhi minat intelektual dan persepektif masa depan peserta didik Meningkatakan efisiensi dan efektifitas proses pembelajaran peserta didik Memacu mutu siswa untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya secaraseimbang.B. Landasan pelaksanaan program akselerasi:Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang salah satunya berbunyi: " Mengembangkan kualitasSDM sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyentuh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya".Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Yang tertuan dalam :Pasal 8 ayat 2: " Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperolehperhatian khusus" .Pasal 24 ayat 1 dan 6 : " Setiap peserta didik berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat, minatdan kemampuannya dan berhak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yangditentukan".Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 111/C/LL/2004 tentang program percepatanbelajar, dengan menunjuk SLTP Negeri 1 Balikpapan sebagai salah satu sekolah yang diberi ijinmelaksanakan program akselerasi.Kurikulum yang digunakan adalah:a. Menyelenggarakan Kurikulum Nasional

b. Melakukan modifikasi kurikulum Nasional ( Kurikulum Berdeferensiasi )c. Penyampaian materi secara eskalasi dan mendalam ( pengayaan secara vertikal )d. Pengayaan secara horisontal è perluasan materi secara lebih terincie. Alokasi waktu lebih singkatf. Menyelenggarakan ekstrakurikuler sesuai minatg. Melakukan penilaian terhadap pencapaian dan kemajuan belajara siswa pada setiap tahap atau unitpembelajaran yang didasarkan pada kriteria keberhasilan tertentuEvaluasiSistem Evaluasi:a. Ulangan Harian1) Dilaksanakan pada akhir 1 atau 2 pokok bahasan, minimal 2x dalam setiap Cawu/Semester.2) Jenis soal : Obyektif Test dan Essay Test3) Hasil Evaluasi disampaikan kepada orang tua siswab. Ulangan Umum Studi1) Ulangan Umum Studi dilaksanakan pada akhir Cawu/Semester ( sesuai dengan kalender pendidikanakselerasi ).2) Mata pelajaran yang diujikan secara tertulis : Bahasa Indonesia, Matematika, IPA Fisika, IPA Biologi,IPS Geografi, IPS Sejarah, IPS Ekonomi, Bahasa Inggris, sedangkan mata pelajaran yang lainnya diberikantugas akhir dan praktek.3) Tingkat kesukaran soal disesuaikan dengan soal pada kelas unggul4) Jenis soal : Obyektif Test dan Essay Test.5) Hasil Ulangan Harian dan Ulangan Umum Studi sebagai bahan untuk mengisi buku Rapor yangdiberikan sesuai dengan jadwal.c. Ujian Akhir Mengikuti ujian akhir bersama-sama dengan kelas reguler G. RombonganSetiap rombongan ( kelas ) diisi maksimum oleh 20 orang siswa yangtelah lulus seleksiRombongan I tahun pembelajaran 2001 - 2004 terdapat 19 orang siswa.Pindah sekolah 1 orang, sisa 18 orang siswa.Rombongan II tahun pembelajaran 2002 - 2004 terdapat 20 orang siswaDipindahkan ke kelas reguler 1 orang (sakit), sisa 19 orang.H. PrestasiPeringkat kelas berdasarkan nilai rapor kelas akselerasi.

[3 comments] - -
ANALISIS PRESTASI BELAJAR PROGRAM AKSELERASIStudi Kasus pada Jenjang Pendidikan Sekolah MenengahAtas Tahun 2005
Oleh: Samsudin
S2 - Teknologi Pendidikan
Dibuat: 2006-11-24 , dengan 1 file(s).



PRESTASI BELAJAR HASIL BELAJAR

ABSTRAK :Upaya meningkatkan pembinaan yang lebih intensif terhadap siswa terutama yangmemiliki kecerdasan yang luar biasa, dilakukan dengan memberikan layanan khususuntuk dapat menyelesaikan pendidikannya dengan waktu yang relatif singkat. Karena itukeberadaan varibel potensi IQ, tes masuk dan aktivitas belajar menjadi penting untuk meningkatkan prestasi belajarnya.Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang cara yang lebih tepat untuk memprediksi prestasi belajar siswa akselerasi SMAN 2 Bandar Lampung. Secara lebihkhusus penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor yang lebih tepat bagi prestasibelajar siswa akselerasi SMAN 2 Bandar Lampung dengan jalan membandingkan potensiIQ, tes masuk dan aktivitas belajar dengan prestasi belajar.Penelitian ini merupakan ex post facto terhadap 3 variabel bebas yakni potensi IQ, tesmasuk dan aktivitas belajar, serta variabel terikat yakni Prestasi Belajar. Untuk menjaringdata yang digunakan basil prestasi belajar siswa akselerasi berupa nilai rata-rata selama 1semester, yang diambil dari hasil raport siswa. Pengukuran nilaiintelegensi dilakukan dengan menggunakan instrumen tes PM yang dilaksanakan olehsekolah terhadap siswa calon akselerasi SMAN 2 Bandar Lampung. Sampel sebanyak 20orang merupakan jumlah seluruh siswa akselerasi setiap angkatan yang terjaring melalui

seleksi yang ketat.Hipotesis penelitian tersebut diuji dengan menggunakan analisis statistik pada taraf signifikansi 0,05 dengan Teknik Analisis Korelasi, Regresi clan Koefisien Path. Hasilpenelitian menunjukan :1. Bahwa siswa yang mempunyai kapasitas intelligensi tinggi, dalam hal ini dicerminkanoleh nilai tes IQ, dapat mempengaruhi aktivitas belajar menjadi yang lebih baik.2. Bahwa nilai tes masuk dapat meramalkan aktivitas belajar siswa dalam programakselerasi belajar.3. Potensi IQ mempunyai pengaruh terhadap prestasi belajar.4. Adanya pengaruh tes masuk terhadap prestasi belajar yang dicapai oleh siswa.5. Aktivitas belajar yang dimiliki siswa mencerminkan suatu sikap keterlibatan siswadalam kegiatan pembelajaran di kelas, yang secara logis sangat berpengaruh terhadapprestasi belajar yang dicapai oleh siswa.

sumber: http://www.scribd.com/doc/49767215/Kelas-Akselerasi-dan-Diskriminasi-Anak