Menyemai Bibit Unggul di Kelas Akselerasi

Menyemai Bibit Unggul di Kelas Akselerasi
Oleh: Amril Muhammad

Rabu, 20 Oktober 2010

Kampus se-ngetop Massachusetts Institute of Technology (MIT) rela ditinggalkan “si bandel” Bill Gates, pendiri perusahaan perangkat lunak Microsoft. Kini, anak bandel itu berhasil menjadi orang terkaya nomor satu versi majalah Forbes selama 13 tahun (1995-2007).

Fantastis! Mungkin masih ingat tentang duo Larry Page dan Sergey Brin, si penemu mesin pencari Google, lalu Jerry Yang, penemu Yahoo, dan si Mark “Facebook” Zuckerberg, yang lebih suka bercelana pendek saat berada di kantor situs jejaring sosial, yang kini digilai jutaan pengguna Internet di dunia itu.

Label bandel, nyentrik, dan nyeleneh memang sering melekat pada tokoh yang kini mencapai puncak kesuksesan di berbagai bidang. Tidak dapat dimungkiri, walau tak harus dibarengi dengan prestasi akademis yang gemilang, sosok nyeleneh seperti mereka tetaplah sosok Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI).

Di Indonesia, anak-anak usia sekolah yang masuk kategori CIBI berusaha diwadahi dalam sebuah kelas akselerasi (percepatan) yang jumlahnya hanya sekitar 311 sekolah dari 126 ribu sekolah umum yang ada dan 12 sekolah madrasah di seluruh Indonesia.

Akselerasi merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 4 tentang Anak Cerdas Berbakat Istimewa. Dalam program akselerasi, masa tempuh sekolah dapat lebih cepat. SMP atau SMA yang biasanya tiga tahun dapat ditempuh dengan dua tahun saja.

Begitu juga dengan sekolah dasar yang enam tahun dapat ditempuh dalam lima tahun saja. Menurut Amril Muhammad, Sekretaris Jenderal Asosiasi CIBI Nasional, yang mendasari dibukanya kelas akselerasi adalah anak CIBI memiliki karakteristik yang khas. Di antaranya kemampuan belajarnya bisa mencapai 4-5 kali lebih cepat dari anak biasa.

“Ketika kecepatan mereka tidak diakomodasi, maka akan berpotensi mengganggu yang lain, bahkan anak CIBI bisa menjadi nakal,” kata dosen jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini. Istilah CIBI sering digunakan untuk mengelompokkan anak yang berbakat khusus (gifted and talented).

Mereka biasanya memiliki IQ kategori very superior atau minimal memiliki skor IQ 130 skala Wechsler. “Atau bisa juga anak-anak pintar yang juga berprestasi di kejuaraan-kejuaraan tingkat nasional,” ungkapnya. Lulusan Program Pascasarjana UNJ ini mengakui tidak mudah mendeteksi keberadaan anak-anak berbakat istimewa itu di sekitar kita.

Bisa jadi anak yang kita cap paling bandel di sekolah justru merupakan anak yang berbakat istimewa tersebut. Saking sulitnya, hanya sekitar 9.951 orang yang bisa dideteksi dari perkiraan sekitar 1,3 juta anak yang masuk kategori CIBI di Indonesia.

“Masalahnya, anak-anak ini kurang dikenali dengan mata telanjang, kecuali jika sudah dites oleh psikolog,” ujar pria kelahiran Pariaman, Sumatra Barat ini.

Kurang Kokoh

Program akselerasi sudah ada sejak 1974, kemudian berlanjut pada 1982, 1994, 1999.

Itu pun banyak ditentang, dan sistem yang diterapkan kurang kokoh. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah yang akan membuka kelas akselerasi. Di antaranya, paling tidak memiliki jumlah murid yang memenuhi persyaratan CIBI minimal 20 orang satu kelas.

Jika tidak sampai jumlah tersebut, dapat juga dilakukan pendalaman khusus, tapi hanya untuk beberapa mata pelajaran pilihan, seperti matematika, fisika, atau bahasa Indonesia. “Kalau hanya lima orang, misalnya, tetap bisa, tapi tidak dalam bentuk kelas, tapi makin banyak murid semakin ringan biayanya,” terang Amril Muhammad.

Pada awal kelas akselerasi ini berkembang di sekolahsekolah, banyak terjadi penyimpangan. Banyak sekolah yang menukar kursi akselerasi semata-mata demi rupiah. “Agar kuota kursi 20 itu terpenuhi, jadi yang bisa bayar mahal bisa saja masuk kelas percepatan,” ungkapnya.

Namun, hal tersebut lamakelamaan berkurang, sebab dalam perjalanannya, anakanak karbitan tersebut terbukti tidak kuat mengikuti kegiatan di kelas akselerasi. “Banyak yang mengaku pusing dan stres, akhirnya kembali lagi ke kelas reguler,” paparnya.

Berbeda dengan anak di kelas reguler, anak CIBI hanya perlu diberi pengarahan sedikit. Selebihnya, mereka bisa bergerak dengan sangat responsif dan mengembangkan ilmu itu sendiri. “Makanya guru harus mengenali, menggali, karena tidak, terus menunjukkan kalau belum menemukan partner,” terangnya.

Kelas akselerasi juga perlu mengembangkan pola mengajar yang lebih mengedepankan riset serta pengajaran berbasis problem base dan diskusi. “Guru mengajar, murid eksplorasi,” cetusnya. Untuk itu, sekolah penyelenggara kelas akselerasi harus melatih guru-guru yang akan menangani kelas percepatan tersebut.

“Guru harus tahu bagaimana materi dikembangkan dari studi kasus,” terangnya. Selain itu, minimal sekolah tersebut harus menyandang status Standar Nasional. Sebab untuk mengakomodasi anak-anak tersebut, juga harus didukung dengan fasilitas pendidikan yang memadai.

Bukan Prioritas

Namun, menurut Amril, ada asumsi yang kurang pas di tengah masyarakat. Banyak sekolah dan orang tua mendefinisikan fasilitas dengan halhal yang berorientasi fisik, fasilitas AC dan sebagainya. Hal ini yang mengakibatkan sekolah harus memungut uang lebih banyak dari orang tua murid.

Sebab menurut pengakuan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, Suyanto, pemerintah tidak memiliki anggaran khusus untuk program kelas akselerasi ini. “Diselipkan pada anggaran di Pendidikan Luar Biasa (PSB),” terangnya.

Menurut Suyanto, kelas akselerasi bukan merupakan sasaran prioritas pendidikan nasional. Menurutnya, masih ada program seperti Wajib Belajar 9 tahun dan Pendidikan Anak Usia Dini yang masih harus menjadi perhatian utama pemerintah. Maka, selain dari bantuan pemerintah yang minim tersebut, sekolah diperkenankan mencari dana dari orang tua dalam jumlah yang wajar.

Pernyataan ini tentu bertolak belakang dengan kondisi nyata yang terjadi saat ini. Pemerintah justru menggelontorkan dana miliaran atau bahkan triliunan rupiah untuk dana block grant Rintisan Sekolah Berskala Internasional (RSBI).
cit/L-1

sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=65490